Laki-laki tua itu duduk di samping seorang pemuda. Hari ini, di rumahnya yang reot tubuhnya yang renta tetap dapat berjalan tegak walau hanya tinggal kulit pembungkus tulang, lipatan-lipatan pada kulitnya tampak begitu jelas.
Laki-laki tua itu tampak kebingungan, tampaknya pemuda itu adalah anak kandungnya yang mengalami kesulitan dalam perjalanan hidup yang baru ia tempuh.
Laki-laki tua itu tetap saja menjaga agar kerisauan dan kegundahan dalam hatinya tidak terpaparkan oleh air mukanya.
“Aku masih bertahan hidup hanya demi melihatmu hidup dengan baik”, ujar laki-laki tua itu. Pemuda yang merupakan anaknya itu berbicara beberapa kata lalu pergi meninggalkan ayahnya yang duduk sendiri di teras rumah itu.
Laki-laki tua itu mengernyitkan kening, berfikir, dan menghitung-hitung. Ia berjalan masuk ke kamarnya, dilewatinya lemari usang lalu ia berhenti sejenak melihat dirinya di cermin lemari usang itu. Tampak olehnya sosok seseorang yang masih berjuang ditengah kehidupan yang semakin sulit, wajahnya sudah begitu tua itu mengambarkan rasa tidak puas hati.
Memang laki-laki tua itu dulunya bukanlah siapa-siapa, ia hanya seseorang yang pernah mengikuti suatu angkatan pembela negri dalam suatu periode. Tapi tanpa pangkat tinggi, hanya seorang prajurit yang tak dikenang. Malahan pula ia tidak diberondong peluru kemudian gugur di medan tempur hingga ia tak butuh monumen yang akan membuat manusia Indonesia tetap mengenangnya. Tapi, tiada artipun sebuah monumen tanda jasa dan nama yang selalu di kumandangkan. Generasi muda bukannya mau untuk mengingat nama sang pahlawan, mereka pun banyak yang tak mengerti arti perjuangan, mereka tak mengerti bagaimana untuk memanfaatkan kemerdekaan dengan baik. Generasi muda saat ini lebih berminat pada kebebasan semu tanpa batas, yang sebenarnya hanya akan membelenggu mereka dengan rantai-rantai maksiat dan rantai-rantai rekayasa kehidupan modern.
Ia melihat ke arah kotak uang yang ia letakkan di lemari usang itu. Pikirannya yang lelah tak membuat ia lupa dengan kejadian masa lalu, dia masih akan tersenyum mengingatnya. Seperti yang ia sering ceritakan pada cucu-cucunya tentang semarak perjuangan membela negeri ini bersama dengan sahabat-sahabat seperjuangannya yang tak pernah menyerah sampai tetes darah penghabisan.
Tapi kini ia malah berpikir masa lalu hanya akan terlupa, tiada guna ia memikirkan hal yang tak mampu ia ubah dengan tangan lemahnya yang dulunya kuat kekar itu. Bukan banyak arti hidup ini baginya, yang ia ingin hanya satu, yaitu kehidupan yang tenang diusia senjanya ini.
Dia kembali ke teras sesudah membuat kopi, ia duduk dan merasa bersalah tak mampu berikan yang terbaik untuk anaknya, buktinya ia tak dapat memberikan bantuan dana bagi usaha anaknya yang terhambat. Lagipun kini ia hanya menggantungkan diri dengan dana pensiunan veteran yang tak seberapa.
Renungannya jauh, sehingga membuat ia berfikir tentang negeri ini. Indonesia yang luas, kaya, indah bagai untaian zambrud di khatulistiwa. Tapi indahkah kehidupan manusia-manusia di dalamnya?
Laki-laki tua itu tidak pernah menyangka hidupnya diusia senja akan seperti ini, ia selalu menyangka setelah lepas dari belenggu penjajahan ia akan bisa menikmati hidup dalam kebebasan di tengah gelimpangan perbaikan negerinya tercinta ini. Padahal bukankah ia pernah jadi salah seorang pejuang yang telah ikut berjuang dengan sekuat tenaga dan sepenuh jiwanya? Atau inikah balasan tuhan atas pengorbanan waktu dan tenaganya di masa lampau?
Apa yang ia rasakan kini? Rasanya ia memang tak butuh monumen penghargaan, berjuta pangkat kepahlawanan, jutaan kata mutiara, dan tak pula timbunan materi yang dapat membiayai kehidupannya hingga tujuh turunan. Semua itu ia tak butuhkan, hatinya sudah cukup puas dengan masa lalu, ia sudah dapat merasa bahagia dengan pernah berjuang membela negara ini. Tapi hari ini ia tak puas dengan dirinya, dan tak puas pula dengan Indonesianya yang semakin rapuh.
Ia tak kesal, tak bimbang dengan keadaannya yang tak seperti yang diharapkan sanubarinya. Masih adakah pemuda-pemudi yang masih mampu mengubah negeri ini jauh dari kehancuran moril dan materiil? Dengarkah mereka sayup-sayup kekecewaan dari tanah perkuburan para perwira? Laki-laki tua itu tak dapat berhenti untuk terus berpikir, baginya lebih baik ia tetap menggunakan akalnya walaupun itu takkan mengubah apa-apa, tapi bukankah manusia harus senantiasa menggunakan akal sehatnya untuk menata hidup mereka? Jiwanya akan terus bergetar melihat negerinya yang semakin terbelenggu dengan bencana akibat kerusakan ekologi yang disebabkan ulah manusianya. Ulah mereka yang tak menggunakan akal dan mengutamakan keserakahan. Semua itu tak mampu ia padamkan dari pikirannya.
Ia masih jalani hidup ini, walau hanya tinggal sendiri di rumahnya yang semakin lapuk itu. Istrinya pergi lebih dahulu ke pangkuan ilahi. Tahun-tahun yang ia lalui selalu terasa sepi, waktu yang tersisa dalam hidupnya hanya menjadi sarana melihat anak-anaknya hidup dalam kesuksesan. Tapi layaknya hidup, tak semudah ombak meratakan tulisan yang terukir di atas pasir tepi pantai.
Hari itu juga ia berjalan ke rumah anak perempuannya, dijumpainya tiga cucucnya yang masih duduk di sekolah dasar, tampak seulas senyum di wajahnya sebagai gambaran kasih seorang kakek.
“Bukan tak ingin membantunya, kehidupan kami pun pas-pasan, lagipun rezeki tak kunjung lancar juga, uang sekolah anak-anak juga belum mampu kami bayar, ayah mereka ada masalah di tempat kerjanya”, ujar anak perempuannya.
“Ayah paham, ayah juga tidak mau membebanimu. Inilah kehidupan, tanpa ketabahan dan kegigihan hari esok yang didambakan takkan pernah ada.”
Wajah laki-laki tua itu berseri-seri, walaupun tak mengembalikannya muda, tapi karena itulah ia ingin hidup lebih lama, ia ingin melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa dan hidup dalam kecukupan dan pekerjaan yang baik. Hidup ini tak begitu panjang, tak pula singkat, hanya sebuah pilihan akan mampu mengubah kesudahan didalamnya.
Kecintaannya pada Indonesia tak pernah luput dimakan zaman, tak pula ia tinggalkan bersama kenangan. Walaupun Indonesia tak segigih dahulu. Apa mungkin harus kembali di jajah, apa mungkin harus kembali berperang barulah generasi muda dan kaum yang menuhankan materi terjaga dari raksasa tidur mereka? Walaupun Indonesia tak sekuat dahulu, yang kini bermanja-manja bermalas-malas di tengah kemajuan teknologi abad ini. Walaupun Indonesia kini sudah menjadi masyarakat konsumtif, dan tak memikirkan hari esok negerinya seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu. Ataukah tak ada yang menyadari ketimpangan ini?
Bukan…bukan.., ada kesalahan, ada pesalah, tapi juga bukan satu, melainkan seribu kesalahan dan berarti ada seribu pesalah. Seribu dari semua sisi kehidupan.
Tak perlu generasi saat ini memberi penghargaan, menghayati pengorbanan, semua pengorbanan itu kan sudah berlalu, sudah menjadi debu, dan yang sadar kepincangan inipun hanya segelintir orang-orang yang masih mau berpikir, tapi apakah mereka yang berpikir itu ada usaha dalam mengubah hal yang mereka anggap salah? Mampukah? Tampaknya tak mudah.
Kalaupun masa lalu tidak memberikan pelajaran kehidupan yang membekas, bukankah tiada kesalahan bila tiap individu hidup dengan jalan yang terbaik sebisa mereka dan hidup dengan gigih dan bertujuan yang jelas?
Laki-laki tua itu teramat lelah, tidak hanya fisik tapi juga hatinya. Seandainya Indonesia lebih maju apakah tunjangan dana pensiunnya lebih besar? Akankah anaknya masih sulit mencari pekerjaan? Apakah cucu-cucunya takkan menangis kelaparan? Masih adakah orang-orang jalanan? Tetapkah Indonesia diisi jutaan pengangguran? Tetap tinggikah kriminalitas dalam negeri ini?
Mulut laki-laki tua itu tak bergumam, matanya melambangkan kecewa. Ia kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan ia melihat jalanan sunyi, tampak jelas gambaran kehidupan yang ia jalani. Ia hanya akan mengisi kekosongan harinya dengan kembali bermunajat dan beribadah pada ilahi.
Seandainya maut menjemputnya hatinya takkan tenang, belum ada yang mendengar suaranya, belum ia lihat senyum tawa dari negerinya tercinta. Ia tak mampu mengungkap hanya karna tak miliki kuasa. Adalah sesuatu kesalahan memandang kehidupan dari sisi yang sempit untuk sesuatu yang banyak, dan itulah negeri ini.
Apa nikmatnya bermain-main dengan kehidupan seperti yang dilakukan generasi saat ini? Bila mereka terjatuh memang mereka dapat belajar sesuatu, tapi bukankah sulit untuk kembali bangun?
Selangkah demi langkah diseretnya kaki yang lelah itu. Kaki yang telah melalui zaman yang panjang. Keheningan malam seolah bercerita tentang apa yang hilang.
Laki-laki tua itu tampak kebingungan, tampaknya pemuda itu adalah anak kandungnya yang mengalami kesulitan dalam perjalanan hidup yang baru ia tempuh.
Laki-laki tua itu tetap saja menjaga agar kerisauan dan kegundahan dalam hatinya tidak terpaparkan oleh air mukanya.
“Aku masih bertahan hidup hanya demi melihatmu hidup dengan baik”, ujar laki-laki tua itu. Pemuda yang merupakan anaknya itu berbicara beberapa kata lalu pergi meninggalkan ayahnya yang duduk sendiri di teras rumah itu.
Laki-laki tua itu mengernyitkan kening, berfikir, dan menghitung-hitung. Ia berjalan masuk ke kamarnya, dilewatinya lemari usang lalu ia berhenti sejenak melihat dirinya di cermin lemari usang itu. Tampak olehnya sosok seseorang yang masih berjuang ditengah kehidupan yang semakin sulit, wajahnya sudah begitu tua itu mengambarkan rasa tidak puas hati.
Memang laki-laki tua itu dulunya bukanlah siapa-siapa, ia hanya seseorang yang pernah mengikuti suatu angkatan pembela negri dalam suatu periode. Tapi tanpa pangkat tinggi, hanya seorang prajurit yang tak dikenang. Malahan pula ia tidak diberondong peluru kemudian gugur di medan tempur hingga ia tak butuh monumen yang akan membuat manusia Indonesia tetap mengenangnya. Tapi, tiada artipun sebuah monumen tanda jasa dan nama yang selalu di kumandangkan. Generasi muda bukannya mau untuk mengingat nama sang pahlawan, mereka pun banyak yang tak mengerti arti perjuangan, mereka tak mengerti bagaimana untuk memanfaatkan kemerdekaan dengan baik. Generasi muda saat ini lebih berminat pada kebebasan semu tanpa batas, yang sebenarnya hanya akan membelenggu mereka dengan rantai-rantai maksiat dan rantai-rantai rekayasa kehidupan modern.
Ia melihat ke arah kotak uang yang ia letakkan di lemari usang itu. Pikirannya yang lelah tak membuat ia lupa dengan kejadian masa lalu, dia masih akan tersenyum mengingatnya. Seperti yang ia sering ceritakan pada cucu-cucunya tentang semarak perjuangan membela negeri ini bersama dengan sahabat-sahabat seperjuangannya yang tak pernah menyerah sampai tetes darah penghabisan.
Tapi kini ia malah berpikir masa lalu hanya akan terlupa, tiada guna ia memikirkan hal yang tak mampu ia ubah dengan tangan lemahnya yang dulunya kuat kekar itu. Bukan banyak arti hidup ini baginya, yang ia ingin hanya satu, yaitu kehidupan yang tenang diusia senjanya ini.
Dia kembali ke teras sesudah membuat kopi, ia duduk dan merasa bersalah tak mampu berikan yang terbaik untuk anaknya, buktinya ia tak dapat memberikan bantuan dana bagi usaha anaknya yang terhambat. Lagipun kini ia hanya menggantungkan diri dengan dana pensiunan veteran yang tak seberapa.
Renungannya jauh, sehingga membuat ia berfikir tentang negeri ini. Indonesia yang luas, kaya, indah bagai untaian zambrud di khatulistiwa. Tapi indahkah kehidupan manusia-manusia di dalamnya?
Laki-laki tua itu tidak pernah menyangka hidupnya diusia senja akan seperti ini, ia selalu menyangka setelah lepas dari belenggu penjajahan ia akan bisa menikmati hidup dalam kebebasan di tengah gelimpangan perbaikan negerinya tercinta ini. Padahal bukankah ia pernah jadi salah seorang pejuang yang telah ikut berjuang dengan sekuat tenaga dan sepenuh jiwanya? Atau inikah balasan tuhan atas pengorbanan waktu dan tenaganya di masa lampau?
Apa yang ia rasakan kini? Rasanya ia memang tak butuh monumen penghargaan, berjuta pangkat kepahlawanan, jutaan kata mutiara, dan tak pula timbunan materi yang dapat membiayai kehidupannya hingga tujuh turunan. Semua itu ia tak butuhkan, hatinya sudah cukup puas dengan masa lalu, ia sudah dapat merasa bahagia dengan pernah berjuang membela negara ini. Tapi hari ini ia tak puas dengan dirinya, dan tak puas pula dengan Indonesianya yang semakin rapuh.
Ia tak kesal, tak bimbang dengan keadaannya yang tak seperti yang diharapkan sanubarinya. Masih adakah pemuda-pemudi yang masih mampu mengubah negeri ini jauh dari kehancuran moril dan materiil? Dengarkah mereka sayup-sayup kekecewaan dari tanah perkuburan para perwira? Laki-laki tua itu tak dapat berhenti untuk terus berpikir, baginya lebih baik ia tetap menggunakan akalnya walaupun itu takkan mengubah apa-apa, tapi bukankah manusia harus senantiasa menggunakan akal sehatnya untuk menata hidup mereka? Jiwanya akan terus bergetar melihat negerinya yang semakin terbelenggu dengan bencana akibat kerusakan ekologi yang disebabkan ulah manusianya. Ulah mereka yang tak menggunakan akal dan mengutamakan keserakahan. Semua itu tak mampu ia padamkan dari pikirannya.
Ia masih jalani hidup ini, walau hanya tinggal sendiri di rumahnya yang semakin lapuk itu. Istrinya pergi lebih dahulu ke pangkuan ilahi. Tahun-tahun yang ia lalui selalu terasa sepi, waktu yang tersisa dalam hidupnya hanya menjadi sarana melihat anak-anaknya hidup dalam kesuksesan. Tapi layaknya hidup, tak semudah ombak meratakan tulisan yang terukir di atas pasir tepi pantai.
Hari itu juga ia berjalan ke rumah anak perempuannya, dijumpainya tiga cucucnya yang masih duduk di sekolah dasar, tampak seulas senyum di wajahnya sebagai gambaran kasih seorang kakek.
“Bukan tak ingin membantunya, kehidupan kami pun pas-pasan, lagipun rezeki tak kunjung lancar juga, uang sekolah anak-anak juga belum mampu kami bayar, ayah mereka ada masalah di tempat kerjanya”, ujar anak perempuannya.
“Ayah paham, ayah juga tidak mau membebanimu. Inilah kehidupan, tanpa ketabahan dan kegigihan hari esok yang didambakan takkan pernah ada.”
Wajah laki-laki tua itu berseri-seri, walaupun tak mengembalikannya muda, tapi karena itulah ia ingin hidup lebih lama, ia ingin melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa dan hidup dalam kecukupan dan pekerjaan yang baik. Hidup ini tak begitu panjang, tak pula singkat, hanya sebuah pilihan akan mampu mengubah kesudahan didalamnya.
Kecintaannya pada Indonesia tak pernah luput dimakan zaman, tak pula ia tinggalkan bersama kenangan. Walaupun Indonesia tak segigih dahulu. Apa mungkin harus kembali di jajah, apa mungkin harus kembali berperang barulah generasi muda dan kaum yang menuhankan materi terjaga dari raksasa tidur mereka? Walaupun Indonesia tak sekuat dahulu, yang kini bermanja-manja bermalas-malas di tengah kemajuan teknologi abad ini. Walaupun Indonesia kini sudah menjadi masyarakat konsumtif, dan tak memikirkan hari esok negerinya seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu. Ataukah tak ada yang menyadari ketimpangan ini?
Bukan…bukan.., ada kesalahan, ada pesalah, tapi juga bukan satu, melainkan seribu kesalahan dan berarti ada seribu pesalah. Seribu dari semua sisi kehidupan.
Tak perlu generasi saat ini memberi penghargaan, menghayati pengorbanan, semua pengorbanan itu kan sudah berlalu, sudah menjadi debu, dan yang sadar kepincangan inipun hanya segelintir orang-orang yang masih mau berpikir, tapi apakah mereka yang berpikir itu ada usaha dalam mengubah hal yang mereka anggap salah? Mampukah? Tampaknya tak mudah.
Kalaupun masa lalu tidak memberikan pelajaran kehidupan yang membekas, bukankah tiada kesalahan bila tiap individu hidup dengan jalan yang terbaik sebisa mereka dan hidup dengan gigih dan bertujuan yang jelas?
Laki-laki tua itu teramat lelah, tidak hanya fisik tapi juga hatinya. Seandainya Indonesia lebih maju apakah tunjangan dana pensiunnya lebih besar? Akankah anaknya masih sulit mencari pekerjaan? Apakah cucu-cucunya takkan menangis kelaparan? Masih adakah orang-orang jalanan? Tetapkah Indonesia diisi jutaan pengangguran? Tetap tinggikah kriminalitas dalam negeri ini?
Mulut laki-laki tua itu tak bergumam, matanya melambangkan kecewa. Ia kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan ia melihat jalanan sunyi, tampak jelas gambaran kehidupan yang ia jalani. Ia hanya akan mengisi kekosongan harinya dengan kembali bermunajat dan beribadah pada ilahi.
Seandainya maut menjemputnya hatinya takkan tenang, belum ada yang mendengar suaranya, belum ia lihat senyum tawa dari negerinya tercinta. Ia tak mampu mengungkap hanya karna tak miliki kuasa. Adalah sesuatu kesalahan memandang kehidupan dari sisi yang sempit untuk sesuatu yang banyak, dan itulah negeri ini.
Apa nikmatnya bermain-main dengan kehidupan seperti yang dilakukan generasi saat ini? Bila mereka terjatuh memang mereka dapat belajar sesuatu, tapi bukankah sulit untuk kembali bangun?
Selangkah demi langkah diseretnya kaki yang lelah itu. Kaki yang telah melalui zaman yang panjang. Keheningan malam seolah bercerita tentang apa yang hilang.



0 comments:
Post a Comment