Tuesday, March 18, 2008

Sirna menyongsong putihnya asa

Aku bergumam sendiri, masih bingung dengan hal tadi. “Iya atau enggak ya? Duh aku bingung nih mau jawab apa ma dia, hmm terima ajalah lagipun aku suka juga ma dia,” ungkapku. Aku mengambil HP lalu membalas SMS yang tadi terkirim ke HP-ku, aku mengetikkan kata “ya” dalam HP-ku tersebut.


Sebenarnya SMS itu cuma SMS biasa aja, cuma sebuah ajakan jalan. Tapi dari seseorang yang kukagumi.



Aku berjalan bolak-balik dari depan rumah ke dapur terus-menerus hanya untuk membuat diriku tidak bosan menunggu SMS darinya. Setelah lama menunggu ternyata dengan santainya dia mengatakan dia tidak bisa bersamaku hari ini. Hatiku kecewa, tapi bukankah kecewa itu biasa? Yang penting aku masih bisa jalan bareng dengannya lain kali. Namun aku juga merasa seperti dipermainkan. Entah mengapa aku masih tidak dapat marah padanya, aku semakin merasa bodoh.

***

Esok harinya dia mengirimkan SMS lagi padaku. Dia bilang dia sayang padaku dan ingin aku bisa jadi pacarnya. Aku harus jawab apa ya? Hmm.. Kalaulah dia benar-benar sayang padaku pasti dia bisa datang langsung atau menelponku. Ini malah hanya SMS tak berarti! Apa dia berbohong? Tapi.. aku menyukainya.. aku harus apa ya?


Dengan ragu-ragu aku mengetikkan "ya, boleh" sebagai balasan SMS. Aku takut kalau aku menolak aku akan menyesal nanti.


“SMS-an melulu, inilah kerja anak zaman sekarang mentang-mentang diberi kebebasan dengan dibelikan HP. Kamu itu sudah 15 tahun harusnya kamu belajar daripada buang-buang waktu SMS-an mendingan kamu bantu ibu atau belajar! Ini enggak, kamu malah sibuk dengan urusan yang nggak ada gunanya itu. Harusnya kamu sadar Ibumu ini sudah tua belum tentu Ibu sehat selamanya. Entah mau jadi apa kamu ini, nak? Bergaul tidak salah tapi kamu hanya membuang-buang waktu dengan ber-SMS ria sepanjang hari," ibuku mulai menceramahiku.


“Aduh ibu ini, Rina kan cuma mau istirahat bentar. Kan bosen kalau belajar melulu, lagipun semua temen Rina juga sering SMS-an kok, bukan Rina aja yang hobi SMS-an,” jawabku kesal setelah diceramahi ibu.


Ibuku berjalan ke dapur tapi masih saja mengomel padaku, “Seharusnya kamu nggak ikut-ikutan dengan kebiasaan teman-teman kamu itu, nggak semestinya kamu harus ngikutin trend masa kini. Jadi kalau teman kamu lagi pada hobi terjun kejurang atau bunuh diri massal kamu juga mau ikutan mereka?”

“Ya enggaklah bu, Rina masih merasa ngelakuin hal yang wajar kok."


“Wajar kamu bilang? Rina kamu itu SMS-an sepanjang hari. Sambil bersihin rumah, sambil nyuci piringpun masih kamu sempat-sempatin bolak-balik jawab SMS, kadang kamu sampai lupa makan, nunda-nunda waktu sholat, nggak mau bantu Ibu, malas belajar, semua gara-gara SMS-an. Ibu nggak akan ngambil HP itu karena Ibu mau Rina mikir sendiri apa yang harus Rina lakukan sekarang. Bahkan kalau bisa Ibu ingin Rina betul-betul dapat banyak pelajaran atas kelalaian Rina selama ini, karena nggak ada gunanya juga ibu ngambil HP kamu, nanti malahan kamu nggak mau makan, mendongkol dalam hati, ataupun nggak mau dengar apa yang ibu bilang ke kamu," gerutu ibu panjang lebar padaku.


Aku tak mengindahkan. Tetap tak peduli. Padahal besok adalah hari terakhir ujian semester satu. Seperti hari-hari sebelumnya aku masih sibuk SMS-an dengan teman-temanku dan menunda-nunda waktu belajarku. Toh teman-temanku juga pada tidak belajar dengan serius kok, mereka bisa santai, kenapa aku tidak bisa?


Kalau melihat Ibu yang sibuk bekerja, aku merasa wajar kalau aku kurang diperhatikan. Ayah pula sudah meninggal dua tahun yang lalu. Aku masih merasa kurang diperhatikan. Padahal aku tahu, Ibu masih senantiasa menyempatkan diri memantau kegiatanku dan memberikan pengarahan. Ibu juga tidak pernah membebaniku dengan masalah hidup kami.



Ibu pernah bilang kalau Ibu merasa bersalah padaku karena perhatian yang Ibu berikan padaku baru akhir-akhir ini saja. Setelah Ayah meninggal Ibu selalu sibuk dengan pekerjaan dan aku dibiarkan sendiri.



Hidupku jadi tidak teratur, pulang sekolah aku jalan-jalan dulu. Tiba di rumah ketika matahari telah terbenam dan hidup sesukaku. Aku tidak lagi memikirkan masa depanku seperti ketika Ayah dan Ibu selalu ada untukku.


Aku sudah terbiasa seperti ini. Lagipun sejak SMA pergaulanku semakin luas. Aku pasti akan merasa tertinggal kalau aku tidak mengikuti apa yang jadi trend. Memang aku juga berusaha melakukan apa yang Ibu sampaikan. Tapi rasanya masih berat, ya sudah.. akhirnya aku tinggalkan saja niatku untuk berubah.


Aku bergaul dengan macam-macam orang, kujalani semua hal dengan santai. Aku juga punya banyak teman yang nge-drugs, namun aku tak pernah ingin mencoba. Aku masih ingin hidup normal.


Ibu selalu mengingatkanku agar aku menyayangi diriku, dengan begitu barulah aku bisa menemukan jati diriku yang sebenarnya. Apa ya maksud Ibu? Aku tidak mengerti.


Hari demi hari pun berlalu. Aku masih saja hidup dengan gayaku yang kurasa sudah cukup asyik untuk dilihat teman-temanku. Padahal hati kecilku terasa berontak. Apa yang salah? Apa karena aku hidup tanpa tujuan yang jelas? Ah, biarlah. Aku tak peduli hari esok, yang penting hari ini aku bisa enjoy.

***

Akhirnya hari penerimaan raport pun tiba.


Hooaheemmm... aku ngantuk. Aku melangkahkan kaki dengan gontai menuju ruangan kelas. Maklum tadi malam aku pergi jalan-jalan menyaksikan anak-anak genk dan pacar baruku yang balapan motor.


Kalah taruhan lagi dan dapat pacar baru lagi, hal itu sudah biasa bagiku.



Ibu diam saja. Sepertinya Ibu enggan memberitahu isi raportku padaku. Setelah tiba di rumah aku lihat Ibu menghela napas kemudian menangis. Aku keheranan seolah tidak pernah sadar pernah melakukan dosa apa. Aku meraih raportku yang diletakkan di meja.


Apa??? Empat mata pelajaran tidak tuntas dan pelajaran lainnya hanya tuntas dengan nilai dua tiga angka di atas SKBM. Aku tidak menyangka.


Padahal teman-temanku tetap saja bisa mendapatkan nilai tinggi walaupun mereka tidak begitu serius belajar. Ketika ujian pun mereka masih membuang-buang waktu dengan SMS-an sepanjang hari membicarakan hal yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan dan masa depan. Kenapa semua ini tidak adil untukku? Kenapa mereka bisa tapi aku tidak?


Aku takkan naik kelas nantinya bila begini. Tubuhku jadi lemas karena melihat air mata Ibu yang mengalir terus-menerus.


Sesudah hari itu ibu selalu menyalahkan diri, “Mungkin Ibu yang salah mendidik kamu. Ibu yang salah karena tidak bisa memperhatikan kamu sepenuhnya. Ibu yang salah karena jarang berkomunikasi denganmu," itu yang Ibu ulang-ulang tiap hari. Aku bosan mendengarnya. Tapi aku juga merasa sedih mendengar kata-kata itu.



Ibu pun jatuh sakit. Aku masih saja terdiam tanpa melakukan apa-apa.


Aku masih belum mampu mengobati luka dihati Ibu walau kebiasaan lamaku yang buruk satu persatu kutinggalkan. Meski aku mengerti dan belajar banyak hal dari kesalahanku. Aku memang lalai dan sekarang aku tenggelam dalam penyesalan tiada arti.


Entahlah, betapa kacaunya diriku ini, betapa bodohnya aku. Kenapa denganku? Apa ini sudah menjadi takdirku? Hidup ini memang menyenangkan tapi tak semudah yang kubayangkan.


Seandainya saja aku dapat kembali ke masa lalu, aku berjanji takkan melakukan semua kesalahan itu. Kini aku hanya bisa menyesali betapa tololnya aku. Mungkin teman-temanku hanya tinggal tunggu waktu saja untuk menerima kegagalan akibat kelalaian yang mereka lakukan.


Aku sudah cukup dewasa untuk berpikir, pastinya malu untuk menangis, merengek, meraung seperti anak kecil lagi. Aku salah dalam melangkah, aku kebingungan. Aku rasa akhir-akhir ini aku hidup dalam neraka, dan yang paling panas itu adalah hari ini.



Rasa takut ini sedang mencabik-cabik hatiku menjadi beberapa bagian yang aku tak dapat lihat. Pikiran negatifku makin meluap-luap. Aku sangat takut, sedih. Aku ingin berubah jadi lebih baik. Tapi kenapa begitu berat? Kepalaku pusing. Aku masih tak mampu melihat dunia dengan jelas.


Aku hanya ingin berkonsentrasi, tapi kenapa rasanya terombang ambing dalam hal-hal gila ini. Andai aku mampu membendung rasa ingin tahuku. Andai aku lebih menghargai diriku. Takkan kulakukan hal-hal yang melampaui batas itu, yang menjadikan tiap langkahku hitam kelam.



Mungkin manusia laknat sepertiku ini takkan pernah sadar lama. Mungkin saja sedetik lagi aku kembali berbalik dari apa yang sudah kujanjikan pada diriku yang kuberi sedikit kasih sayang ini.
Aku meredup, lama kelamaan hampir mati dan kini aku jadi tidak berarti. Pikiranku tercampur aduk dalam sebuah kotak yang tak mau dibuka, jauh-jauh di ujung sana.


Apa karena aku begitu lelah hingga tak sanggup menyeret kakiku yang masih bisa berjalan baik ini? Munafik jika kujawab itu dengan “Ya”. Manusia memang tak ada yang sempurna. Tapi harusnya kusadari, aku masih bisa menutupi kelemahanku dengan usaha gigih.


Aku sadar kelalaianku. Aku tidak bisa sama seperti orang lain. Tak semestinya apa yang mereka lakukan sesuai denganku. Benar apa yang Ibu katakan padaku, aku harus menerima diriku apa adanya. Aku tidak akan rugi bila membatasi pergaulanku.


Berpacaran di usia ini memang membuat diriku gembira, tapi juga membuat perasaanku terombang ambing. Aku cuma terbuai dalam kesenangan semu. Memang pacaran punya dampak yang berbeda bagi tiap remaja. Tapi pastinya, tetap akan mengganggu baik itu masalah kecil atau besar, senang ataupun sedih. Tetap saja akan mengurangi fokus dalam kehidupan dan pelajaran, membuatku menyia-nyiakan waktu.


Aku lalai menghargai orang-orang yang menyayangiku, terutama Ibu. Aku harus berusaha mengubah diriku menjadi lebih baik. Walaupun sangat berat. Banyak yang perlu kuubah, aku perlu berhenti dari duniaku yang hura-hura. Satu hal lagi yang kusadari, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri selagi masih bernyawa. Aku tidak akan menyerah. Aku bertekad dan aku pasti mampu!


Aku akan menanti maaf dan kesembuhan Ibu sambil memperbaiki diri. Aku takkan pernah melupakan kegagalan yang telah merubahku ini selamanya.

0 comments:

Post a Comment