Tuesday, March 18, 2008

Bukan sekedar harga

Laki-laki tua itu duduk di samping seorang pemuda. Hari ini, di rumahnya yang reot tubuhnya yang renta tetap dapat berjalan tegak walau hanya tinggal kulit pembungkus tulang, lipatan-lipatan pada kulitnya tampak begitu jelas.


Laki-laki tua itu tampak kebingungan, tampaknya pemuda itu adalah anak kandungnya yang mengalami kesulitan dalam perjalanan hidup yang baru ia tempuh.



Laki-laki tua itu tetap saja menjaga agar kerisauan dan kegundahan dalam hatinya tidak terpaparkan oleh air mukanya.
“Aku masih bertahan hidup hanya demi melihatmu hidup dengan baik”, ujar laki-laki tua itu. Pemuda yang merupakan anaknya itu berbicara beberapa kata lalu pergi meninggalkan ayahnya yang duduk sendiri di teras rumah itu.


Laki-laki tua itu mengernyitkan kening, berfikir, dan menghitung-hitung. Ia berjalan masuk ke kamarnya, dilewatinya lemari usang lalu ia berhenti sejenak melihat dirinya di cermin lemari usang itu. Tampak olehnya sosok seseorang yang masih berjuang ditengah kehidupan yang semakin sulit, wajahnya sudah begitu tua itu mengambarkan rasa tidak puas hati.


Memang laki-laki tua itu dulunya bukanlah siapa-siapa, ia hanya seseorang yang pernah mengikuti suatu angkatan pembela negri dalam suatu periode. Tapi tanpa pangkat tinggi, hanya seorang prajurit yang tak dikenang. Malahan pula ia tidak diberondong peluru kemudian gugur di medan tempur hingga ia tak butuh monumen yang akan membuat manusia Indonesia tetap mengenangnya. Tapi, tiada artipun sebuah monumen tanda jasa dan nama yang selalu di kumandangkan. Generasi muda bukannya mau untuk mengingat nama sang pahlawan, mereka pun banyak yang tak mengerti arti perjuangan, mereka tak mengerti bagaimana untuk memanfaatkan kemerdekaan dengan baik. Generasi muda saat ini lebih berminat pada kebebasan semu tanpa batas, yang sebenarnya hanya akan membelenggu mereka dengan rantai-rantai maksiat dan rantai-rantai rekayasa kehidupan modern.


Ia melihat ke arah kotak uang yang ia letakkan di lemari usang itu. Pikirannya yang lelah tak membuat ia lupa dengan kejadian masa lalu, dia masih akan tersenyum mengingatnya. Seperti yang ia sering ceritakan pada cucu-cucunya tentang semarak perjuangan membela negeri ini bersama dengan sahabat-sahabat seperjuangannya yang tak pernah menyerah sampai tetes darah penghabisan.


Tapi kini ia malah berpikir masa lalu hanya akan terlupa, tiada guna ia memikirkan hal yang tak mampu ia ubah dengan tangan lemahnya yang dulunya kuat kekar itu. Bukan banyak arti hidup ini baginya, yang ia ingin hanya satu, yaitu kehidupan yang tenang diusia senjanya ini.
Dia kembali ke teras sesudah membuat kopi, ia duduk dan merasa bersalah tak mampu berikan yang terbaik untuk anaknya, buktinya ia tak dapat memberikan bantuan dana bagi usaha anaknya yang terhambat. Lagipun kini ia hanya menggantungkan diri dengan dana pensiunan veteran yang tak seberapa.


Renungannya jauh, sehingga membuat ia berfikir tentang negeri ini. Indonesia yang luas, kaya, indah bagai untaian zambrud di khatulistiwa. Tapi indahkah kehidupan manusia-manusia di dalamnya?
Laki-laki tua itu tidak pernah menyangka hidupnya diusia senja akan seperti ini, ia selalu menyangka setelah lepas dari belenggu penjajahan ia akan bisa menikmati hidup dalam kebebasan di tengah gelimpangan perbaikan negerinya tercinta ini. Padahal bukankah ia pernah jadi salah seorang pejuang yang telah ikut berjuang dengan sekuat tenaga dan sepenuh jiwanya? Atau inikah balasan tuhan atas pengorbanan waktu dan tenaganya di masa lampau?


Apa yang ia rasakan kini? Rasanya ia memang tak butuh monumen penghargaan, berjuta pangkat kepahlawanan, jutaan kata mutiara, dan tak pula timbunan materi yang dapat membiayai kehidupannya hingga tujuh turunan. Semua itu ia tak butuhkan, hatinya sudah cukup puas dengan masa lalu, ia sudah dapat merasa bahagia dengan pernah berjuang membela negara ini. Tapi hari ini ia tak puas dengan dirinya, dan tak puas pula dengan Indonesianya yang semakin rapuh.


Ia tak kesal, tak bimbang dengan keadaannya yang tak seperti yang diharapkan sanubarinya. Masih adakah pemuda-pemudi yang masih mampu mengubah negeri ini jauh dari kehancuran moril dan materiil? Dengarkah mereka sayup-sayup kekecewaan dari tanah perkuburan para perwira? Laki-laki tua itu tak dapat berhenti untuk terus berpikir, baginya lebih baik ia tetap menggunakan akalnya walaupun itu takkan mengubah apa-apa, tapi bukankah manusia harus senantiasa menggunakan akal sehatnya untuk menata hidup mereka? Jiwanya akan terus bergetar melihat negerinya yang semakin terbelenggu dengan bencana akibat kerusakan ekologi yang disebabkan ulah manusianya. Ulah mereka yang tak menggunakan akal dan mengutamakan keserakahan. Semua itu tak mampu ia padamkan dari pikirannya.


Ia masih jalani hidup ini, walau hanya tinggal sendiri di rumahnya yang semakin lapuk itu. Istrinya pergi lebih dahulu ke pangkuan ilahi. Tahun-tahun yang ia lalui selalu terasa sepi, waktu yang tersisa dalam hidupnya hanya menjadi sarana melihat anak-anaknya hidup dalam kesuksesan. Tapi layaknya hidup, tak semudah ombak meratakan tulisan yang terukir di atas pasir tepi pantai.


Hari itu juga ia berjalan ke rumah anak perempuannya, dijumpainya tiga cucucnya yang masih duduk di sekolah dasar, tampak seulas senyum di wajahnya sebagai gambaran kasih seorang kakek.
“Bukan tak ingin membantunya, kehidupan kami pun pas-pasan, lagipun rezeki tak kunjung lancar juga, uang sekolah anak-anak juga belum mampu kami bayar, ayah mereka ada masalah di tempat kerjanya”, ujar anak perempuannya.


“Ayah paham, ayah juga tidak mau membebanimu. Inilah kehidupan, tanpa ketabahan dan kegigihan hari esok yang didambakan takkan pernah ada.”

Wajah laki-laki tua itu berseri-seri, walaupun tak mengembalikannya muda, tapi karena itulah ia ingin hidup lebih lama, ia ingin melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa dan hidup dalam kecukupan dan pekerjaan yang baik. Hidup ini tak begitu panjang, tak pula singkat, hanya sebuah pilihan akan mampu mengubah kesudahan didalamnya.


Kecintaannya pada Indonesia tak pernah luput dimakan zaman, tak pula ia tinggalkan bersama kenangan. Walaupun Indonesia tak segigih dahulu. Apa mungkin harus kembali di jajah, apa mungkin harus kembali berperang barulah generasi muda dan kaum yang menuhankan materi terjaga dari raksasa tidur mereka? Walaupun Indonesia tak sekuat dahulu, yang kini bermanja-manja bermalas-malas di tengah kemajuan teknologi abad ini. Walaupun Indonesia kini sudah menjadi masyarakat konsumtif, dan tak memikirkan hari esok negerinya seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu. Ataukah tak ada yang menyadari ketimpangan ini?


Bukan…bukan.., ada kesalahan, ada pesalah, tapi juga bukan satu, melainkan seribu kesalahan dan berarti ada seribu pesalah. Seribu dari semua sisi kehidupan.



Tak perlu generasi saat ini memberi penghargaan, menghayati pengorbanan, semua pengorbanan itu kan sudah berlalu, sudah menjadi debu, dan yang sadar kepincangan inipun hanya segelintir orang-orang yang masih mau berpikir, tapi apakah mereka yang berpikir itu ada usaha dalam mengubah hal yang mereka anggap salah? Mampukah? Tampaknya tak mudah.


Kalaupun masa lalu tidak memberikan pelajaran kehidupan yang membekas, bukankah tiada kesalahan bila tiap individu hidup dengan jalan yang terbaik sebisa mereka dan hidup dengan gigih dan bertujuan yang jelas?


Laki-laki tua itu teramat lelah, tidak hanya fisik tapi juga hatinya. Seandainya Indonesia lebih maju apakah tunjangan dana pensiunnya lebih besar? Akankah anaknya masih sulit mencari pekerjaan? Apakah cucu-cucunya takkan menangis kelaparan? Masih adakah orang-orang jalanan? Tetapkah Indonesia diisi jutaan pengangguran? Tetap tinggikah kriminalitas dalam negeri ini?


Mulut laki-laki tua itu tak bergumam, matanya melambangkan kecewa. Ia kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan ia melihat jalanan sunyi, tampak jelas gambaran kehidupan yang ia jalani. Ia hanya akan mengisi kekosongan harinya dengan kembali bermunajat dan beribadah pada ilahi.


Seandainya maut menjemputnya hatinya takkan tenang, belum ada yang mendengar suaranya, belum ia lihat senyum tawa dari negerinya tercinta. Ia tak mampu mengungkap hanya karna tak miliki kuasa. Adalah sesuatu kesalahan memandang kehidupan dari sisi yang sempit untuk sesuatu yang banyak, dan itulah negeri ini.


Apa nikmatnya bermain-main dengan kehidupan seperti yang dilakukan generasi saat ini? Bila mereka terjatuh memang mereka dapat belajar sesuatu, tapi bukankah sulit untuk kembali bangun?


Selangkah demi langkah diseretnya kaki yang lelah itu. Kaki yang telah melalui zaman yang panjang. Keheningan malam seolah bercerita tentang apa yang hilang.

Sirna menyongsong putihnya asa

Aku bergumam sendiri, masih bingung dengan hal tadi. “Iya atau enggak ya? Duh aku bingung nih mau jawab apa ma dia, hmm terima ajalah lagipun aku suka juga ma dia,” ungkapku. Aku mengambil HP lalu membalas SMS yang tadi terkirim ke HP-ku, aku mengetikkan kata “ya” dalam HP-ku tersebut.


Sebenarnya SMS itu cuma SMS biasa aja, cuma sebuah ajakan jalan. Tapi dari seseorang yang kukagumi.



Aku berjalan bolak-balik dari depan rumah ke dapur terus-menerus hanya untuk membuat diriku tidak bosan menunggu SMS darinya. Setelah lama menunggu ternyata dengan santainya dia mengatakan dia tidak bisa bersamaku hari ini. Hatiku kecewa, tapi bukankah kecewa itu biasa? Yang penting aku masih bisa jalan bareng dengannya lain kali. Namun aku juga merasa seperti dipermainkan. Entah mengapa aku masih tidak dapat marah padanya, aku semakin merasa bodoh.

***

Esok harinya dia mengirimkan SMS lagi padaku. Dia bilang dia sayang padaku dan ingin aku bisa jadi pacarnya. Aku harus jawab apa ya? Hmm.. Kalaulah dia benar-benar sayang padaku pasti dia bisa datang langsung atau menelponku. Ini malah hanya SMS tak berarti! Apa dia berbohong? Tapi.. aku menyukainya.. aku harus apa ya?


Dengan ragu-ragu aku mengetikkan "ya, boleh" sebagai balasan SMS. Aku takut kalau aku menolak aku akan menyesal nanti.


“SMS-an melulu, inilah kerja anak zaman sekarang mentang-mentang diberi kebebasan dengan dibelikan HP. Kamu itu sudah 15 tahun harusnya kamu belajar daripada buang-buang waktu SMS-an mendingan kamu bantu ibu atau belajar! Ini enggak, kamu malah sibuk dengan urusan yang nggak ada gunanya itu. Harusnya kamu sadar Ibumu ini sudah tua belum tentu Ibu sehat selamanya. Entah mau jadi apa kamu ini, nak? Bergaul tidak salah tapi kamu hanya membuang-buang waktu dengan ber-SMS ria sepanjang hari," ibuku mulai menceramahiku.


“Aduh ibu ini, Rina kan cuma mau istirahat bentar. Kan bosen kalau belajar melulu, lagipun semua temen Rina juga sering SMS-an kok, bukan Rina aja yang hobi SMS-an,” jawabku kesal setelah diceramahi ibu.


Ibuku berjalan ke dapur tapi masih saja mengomel padaku, “Seharusnya kamu nggak ikut-ikutan dengan kebiasaan teman-teman kamu itu, nggak semestinya kamu harus ngikutin trend masa kini. Jadi kalau teman kamu lagi pada hobi terjun kejurang atau bunuh diri massal kamu juga mau ikutan mereka?”

“Ya enggaklah bu, Rina masih merasa ngelakuin hal yang wajar kok."


“Wajar kamu bilang? Rina kamu itu SMS-an sepanjang hari. Sambil bersihin rumah, sambil nyuci piringpun masih kamu sempat-sempatin bolak-balik jawab SMS, kadang kamu sampai lupa makan, nunda-nunda waktu sholat, nggak mau bantu Ibu, malas belajar, semua gara-gara SMS-an. Ibu nggak akan ngambil HP itu karena Ibu mau Rina mikir sendiri apa yang harus Rina lakukan sekarang. Bahkan kalau bisa Ibu ingin Rina betul-betul dapat banyak pelajaran atas kelalaian Rina selama ini, karena nggak ada gunanya juga ibu ngambil HP kamu, nanti malahan kamu nggak mau makan, mendongkol dalam hati, ataupun nggak mau dengar apa yang ibu bilang ke kamu," gerutu ibu panjang lebar padaku.


Aku tak mengindahkan. Tetap tak peduli. Padahal besok adalah hari terakhir ujian semester satu. Seperti hari-hari sebelumnya aku masih sibuk SMS-an dengan teman-temanku dan menunda-nunda waktu belajarku. Toh teman-temanku juga pada tidak belajar dengan serius kok, mereka bisa santai, kenapa aku tidak bisa?


Kalau melihat Ibu yang sibuk bekerja, aku merasa wajar kalau aku kurang diperhatikan. Ayah pula sudah meninggal dua tahun yang lalu. Aku masih merasa kurang diperhatikan. Padahal aku tahu, Ibu masih senantiasa menyempatkan diri memantau kegiatanku dan memberikan pengarahan. Ibu juga tidak pernah membebaniku dengan masalah hidup kami.



Ibu pernah bilang kalau Ibu merasa bersalah padaku karena perhatian yang Ibu berikan padaku baru akhir-akhir ini saja. Setelah Ayah meninggal Ibu selalu sibuk dengan pekerjaan dan aku dibiarkan sendiri.



Hidupku jadi tidak teratur, pulang sekolah aku jalan-jalan dulu. Tiba di rumah ketika matahari telah terbenam dan hidup sesukaku. Aku tidak lagi memikirkan masa depanku seperti ketika Ayah dan Ibu selalu ada untukku.


Aku sudah terbiasa seperti ini. Lagipun sejak SMA pergaulanku semakin luas. Aku pasti akan merasa tertinggal kalau aku tidak mengikuti apa yang jadi trend. Memang aku juga berusaha melakukan apa yang Ibu sampaikan. Tapi rasanya masih berat, ya sudah.. akhirnya aku tinggalkan saja niatku untuk berubah.


Aku bergaul dengan macam-macam orang, kujalani semua hal dengan santai. Aku juga punya banyak teman yang nge-drugs, namun aku tak pernah ingin mencoba. Aku masih ingin hidup normal.


Ibu selalu mengingatkanku agar aku menyayangi diriku, dengan begitu barulah aku bisa menemukan jati diriku yang sebenarnya. Apa ya maksud Ibu? Aku tidak mengerti.


Hari demi hari pun berlalu. Aku masih saja hidup dengan gayaku yang kurasa sudah cukup asyik untuk dilihat teman-temanku. Padahal hati kecilku terasa berontak. Apa yang salah? Apa karena aku hidup tanpa tujuan yang jelas? Ah, biarlah. Aku tak peduli hari esok, yang penting hari ini aku bisa enjoy.

***

Akhirnya hari penerimaan raport pun tiba.


Hooaheemmm... aku ngantuk. Aku melangkahkan kaki dengan gontai menuju ruangan kelas. Maklum tadi malam aku pergi jalan-jalan menyaksikan anak-anak genk dan pacar baruku yang balapan motor.


Kalah taruhan lagi dan dapat pacar baru lagi, hal itu sudah biasa bagiku.



Ibu diam saja. Sepertinya Ibu enggan memberitahu isi raportku padaku. Setelah tiba di rumah aku lihat Ibu menghela napas kemudian menangis. Aku keheranan seolah tidak pernah sadar pernah melakukan dosa apa. Aku meraih raportku yang diletakkan di meja.


Apa??? Empat mata pelajaran tidak tuntas dan pelajaran lainnya hanya tuntas dengan nilai dua tiga angka di atas SKBM. Aku tidak menyangka.


Padahal teman-temanku tetap saja bisa mendapatkan nilai tinggi walaupun mereka tidak begitu serius belajar. Ketika ujian pun mereka masih membuang-buang waktu dengan SMS-an sepanjang hari membicarakan hal yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan dan masa depan. Kenapa semua ini tidak adil untukku? Kenapa mereka bisa tapi aku tidak?


Aku takkan naik kelas nantinya bila begini. Tubuhku jadi lemas karena melihat air mata Ibu yang mengalir terus-menerus.


Sesudah hari itu ibu selalu menyalahkan diri, “Mungkin Ibu yang salah mendidik kamu. Ibu yang salah karena tidak bisa memperhatikan kamu sepenuhnya. Ibu yang salah karena jarang berkomunikasi denganmu," itu yang Ibu ulang-ulang tiap hari. Aku bosan mendengarnya. Tapi aku juga merasa sedih mendengar kata-kata itu.



Ibu pun jatuh sakit. Aku masih saja terdiam tanpa melakukan apa-apa.


Aku masih belum mampu mengobati luka dihati Ibu walau kebiasaan lamaku yang buruk satu persatu kutinggalkan. Meski aku mengerti dan belajar banyak hal dari kesalahanku. Aku memang lalai dan sekarang aku tenggelam dalam penyesalan tiada arti.


Entahlah, betapa kacaunya diriku ini, betapa bodohnya aku. Kenapa denganku? Apa ini sudah menjadi takdirku? Hidup ini memang menyenangkan tapi tak semudah yang kubayangkan.


Seandainya saja aku dapat kembali ke masa lalu, aku berjanji takkan melakukan semua kesalahan itu. Kini aku hanya bisa menyesali betapa tololnya aku. Mungkin teman-temanku hanya tinggal tunggu waktu saja untuk menerima kegagalan akibat kelalaian yang mereka lakukan.


Aku sudah cukup dewasa untuk berpikir, pastinya malu untuk menangis, merengek, meraung seperti anak kecil lagi. Aku salah dalam melangkah, aku kebingungan. Aku rasa akhir-akhir ini aku hidup dalam neraka, dan yang paling panas itu adalah hari ini.



Rasa takut ini sedang mencabik-cabik hatiku menjadi beberapa bagian yang aku tak dapat lihat. Pikiran negatifku makin meluap-luap. Aku sangat takut, sedih. Aku ingin berubah jadi lebih baik. Tapi kenapa begitu berat? Kepalaku pusing. Aku masih tak mampu melihat dunia dengan jelas.


Aku hanya ingin berkonsentrasi, tapi kenapa rasanya terombang ambing dalam hal-hal gila ini. Andai aku mampu membendung rasa ingin tahuku. Andai aku lebih menghargai diriku. Takkan kulakukan hal-hal yang melampaui batas itu, yang menjadikan tiap langkahku hitam kelam.



Mungkin manusia laknat sepertiku ini takkan pernah sadar lama. Mungkin saja sedetik lagi aku kembali berbalik dari apa yang sudah kujanjikan pada diriku yang kuberi sedikit kasih sayang ini.
Aku meredup, lama kelamaan hampir mati dan kini aku jadi tidak berarti. Pikiranku tercampur aduk dalam sebuah kotak yang tak mau dibuka, jauh-jauh di ujung sana.


Apa karena aku begitu lelah hingga tak sanggup menyeret kakiku yang masih bisa berjalan baik ini? Munafik jika kujawab itu dengan “Ya”. Manusia memang tak ada yang sempurna. Tapi harusnya kusadari, aku masih bisa menutupi kelemahanku dengan usaha gigih.


Aku sadar kelalaianku. Aku tidak bisa sama seperti orang lain. Tak semestinya apa yang mereka lakukan sesuai denganku. Benar apa yang Ibu katakan padaku, aku harus menerima diriku apa adanya. Aku tidak akan rugi bila membatasi pergaulanku.


Berpacaran di usia ini memang membuat diriku gembira, tapi juga membuat perasaanku terombang ambing. Aku cuma terbuai dalam kesenangan semu. Memang pacaran punya dampak yang berbeda bagi tiap remaja. Tapi pastinya, tetap akan mengganggu baik itu masalah kecil atau besar, senang ataupun sedih. Tetap saja akan mengurangi fokus dalam kehidupan dan pelajaran, membuatku menyia-nyiakan waktu.


Aku lalai menghargai orang-orang yang menyayangiku, terutama Ibu. Aku harus berusaha mengubah diriku menjadi lebih baik. Walaupun sangat berat. Banyak yang perlu kuubah, aku perlu berhenti dari duniaku yang hura-hura. Satu hal lagi yang kusadari, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri selagi masih bernyawa. Aku tidak akan menyerah. Aku bertekad dan aku pasti mampu!


Aku akan menanti maaf dan kesembuhan Ibu sambil memperbaiki diri. Aku takkan pernah melupakan kegagalan yang telah merubahku ini selamanya.